- Back to Home »
- Kronologi Kejadian Peledakan Bom di Solo (Gedung Gereja)
Minggu, 16 Juni 2013
Sumber : >
“Tidak ada satupun
korban jiwa, itu adalah karena campur tangan Tuhan semata-mata”
Bom
bunuh diri di GBIS kepunton solo-jawa tengah
A. Jam 10:45
B. Bom Meledak
C. Mujizat
D. Iman Di Atas Batu Karang
E. We Love, We Forgive
A. Jam 10:45
Minggu
25 September 2011 jam 10:45. Ibadah baru saja usai. Doa berkat telah selesai
disampaikan. Jemaat sedang berjalan keluar dari dalam gedung Gereja. Pemuji dan
pemusik sedang menaikkan puji-pujian.
Baru
saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari Surabaya menyampaikan Firman Tuhan mengenai
“Pertolongan Tuhan” yang terambil dari Mazmur 121:1-8. Semuanya kelihatannya
berjalan dengan lancar sepereti biasanya.
Tiba-tiba
terdengar ledakan keras. Puji-pujian langsung berhenti. Saya berpikir speaker
sound system yang meledak. Saya langsung berlari ke tengah mimbar dan dari atas
mimbar terlihat ada asap putih mengepul dari pintu depan. Asap cukup tebal
sehingga pandangan ke luar pintu tidak terlihat. Saya langsung berpikir “Wah
bom!” Langsung saya berlari seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.
Pikiran
saya cuma satu, “Tuhan jangan sampai ada korban jiwa dari jemaat” dan kalau ada
korban luka, itu yang harus secepatnya ditolong. Tidak kepikiran kalau ada bom
susulan atau hal lain. Hanya satu perkara yang ada di pikiran “Selamatkan
secepatnya yang terluka!”
Pada
waktu itu, jemaat berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi asap putih
cukup tebal menghalangi pandangan. Bau mesiu menyengat dan darah berceceran di
lantai.
Sampai
di dekat kejadian, saya melihat hanya ada seorang yang tergeletak dengan perut
hancur. Saya langsung berpikir, “Itu pasti pelakunya”. Secara sekilas saya
tidak menemukan korban lain yang tergeletak, spontan saya langsung berkata
dalam hati, “Syukur Tuhan, tidak ada korban jiwa jemaat”.
Lalu
saya lihat beberapa jemaat yang terluka. Saya pegang tangan salah satunya dan
saya katakan “Kamu pasti tertolong. Jangan takut! Tuhan melindungimu.” Tapi
saya tidak boleh hanya berkutat di situ. Sekarang, ada beban di pundak saya
sebagai gembala untuk mengendalikan situasi yang kacau dan menenangkan jemaat
yang panik. Langsung saya berteriak “Semuanya keluar lewat pintu samping”.
Sekarang, prioritas utama adalah melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya
ke rumah sakit. Tidak usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup
lama. Sedangkan korban, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.
Terdengar
teriakan dari Pdm. Joko Sembodo yang mengatur keamanan di tempat kejadian
perkara. Dia berteriak kepada petugas parkir di luar “Tutup pintu gerbang
cepat!” agar jangan sampai ada orang luar masuk.
“Bawa
semua korban lewat kantor. Pakai mobil Gereja untuk membawa korban ke rumah
sakit” teriak saya. Langsung beberapa jemaat dengan sigap tanpa rasa takut
menggendong para korban ke kantor. Mereka ini betul-betul orang-orang yang siap
melayani seperti Kristus. Tidak mempedulikan resiko bom ke dua ataupun
kengerian yang muncul, mereka sigap untuk memberikan pertolongan kepada
korban-korban yang berjatuhan.
Sayapun
segera berlari ke kantor. Di kantor, saya menyuruh Bapak Yohanes dan Bapak
Yulianto untuk mengatur parkir agar kendaraan di parkir yang tidak
berkepentingan bisa langsung cepat keluar. Begitu kosong, ada dua kendaraan
yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak Gideon. Langsung para korban
diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi. Namun ada kesulitan untuk menaikkan
korban ke mobil Bapak Gideon, karena pintunya terhalang mobil lain. Tidak menunggu
waktu, saya langsung naik ke belakang setir dan memajukan mobil Bapak Gideon,
sehingga pintu bisa terbuka lebar.
Begitu
korban dimasukkan, mobil segera melaju dengan cepat ke Rumah Sakit Dr. Oen. Ada
yang sempat bertanya, “Nanti kalau di tanya siapa yang menanggung dan
bertanggungjawab, bagaimana jawabnya?” Saya langsung berteriak “Gereja yang
akan bertanggungjawab untuk semua biayanya. Yang penting, korban harus segera
ditolong!” (Biaya pengobatan dan rumah sakit ditanggung oleh pemerintah dan
oleh pihak Rumah Sakit Dr. Oen). Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak
ledakan, semua korban sudah bisa sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.
Setelah
sebentar membagi tugas di kantor, saya dan Pdm. Wim Agus Winarno langsung
menyusul ke Rumah Sakit Dr. Oen. Urusan peledakan dan korban tewas biarlah
urusan polisi dan orang lain yang sudah saya serahi tugas untuk itu. Sedangkan
tugas saya adalah gembala. Saya harus berada di dekat domba-domba yang terluka
secepatnya.
Di
luar, masa yang begitu banyak sudah memadati jalan di sekitar Gereja, sehingga
kendaraan saya sukar untuk bergerak. Sesampainya di rumah sakit, ruang UGD
sudah penuh dengan korban-korban yang terluka dan keluarganya. Suasana hiruk
pikuk. Langsung saya usahakan untuk mendekati mereka satu per satu. Saya
berikan kata-kata kekuatan dan yang paling penting saya doakan mereka satu per
satu. Itulah tugas saya sebagai gembala.
Korban
pertama yang saya jumpai adalah Bapak Sugiyono dan anaknya Defiana. Secara
sepintas mereka kelihatannya tidak terluka parah, karena mereka masih bisa
tersenyum. Namun kemudian saya baru tahu bahwa luka Defiana cukup parah, di
mana ada 3 mur yang bersarang di tempurung kepalanya. Saya doakan mereka dan
saya kuatkan.
Lalu
saya jumpai Bapak Go Sing Gwan yang terluka dibahunya. Sebuah metal besi telah
menghantam tulang bahunya sehingga hancur. Bapak Go Sing Gwan harus menjalani
operasi untuk mengganti tulang bahunya yang hancur dengan sebuah plat.
Dikamar
sebelah saya menjumpai Olivia Putri yang terluka di kakinya. Urat kakinya putus
dan dia menangis. Pasti rasanya sangat menyakitkan sekali dan hati saya turut
tersayat melihat gadis remaja ini menangis kesakitan. Saya pegang tangannya dan
saya doakan.
Berlari
keluar saya masuk ke kamar di samping dan di situ saya melihat Noviyanti tergeletak
di atas ranjang dengan kepala yang bercucuran darah begitu banyak. Terlihat
sepintas lukanya cukup parah dan dia hanya diam saja tanpa respon. Hati saya
kuatir melihatnya. Tapi saya meneguhkan iman dan berdoa. Saya bisikkan
kata-kata kekuatan dan saya doakan dia. Luar biasanya, nanti terlihat bahwa
pemulihannya begitu cepat dan dia termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.
Septiana
saya jumpai sedang terbaring kesakitan. Benda tajam telah menembus salah satu
kakinya sampai berlubang dan mencucurkan darah. Tidak berhenti sampai di situ,
benda tajam itu masih melaju dan bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua
kakinya terluka parah.
Selanjutnya
saya berlari ke kamar sebelah dan saya melihat Ibu Feriana yang terluka parah,
ada pecahan metal yang menembus dan merobek kandung kemihnya. Pendarahan
terjadi dan harus segera dihentikan sebelum menjadi fatal. Segera dia
diprioritaskan untuk menerima tindakan operasi lebih dahulu untuk menghentikan
pendarahan. Dalam operasi itu, dokter juga harus memotong usus halusnya
sebanyak dua cm. ketika didoakan sebelum masuk ke kamar operasi, dia masih bisa
tersenyum sekalipun terluka parah.
Selesai
mendoakan Ibu Feriana, saya keluar kamar dan di lorong saya menjumpai Ferdianta
dan Boris yang terbaring di ranjang. Luka mereka berada di tangan, perut dan
kaki, karena ada paku dan benda-benda lain yang menancap. Saya doakan dan saya
teguhkan iman mereka. Mereka mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang
karena mereka tetap kuat.
Saat
itu, saya melihat ada korban yang sedang didorong tergesa-gesa oleh petugas
medis ke kamar operasi. Ternyata dia adalah Bapak Ristiyono yang punggungnya
hancur karena ada dua belas paku yang menancap di punggungnya. Saya tidak
sempat mendoakannya secara khusus, tapi saya berdoa dalam hati agar kemanapun
dia dibawa, Tuhan menyertainya.
Dengan
setengah berlari, saya masuki kamar selanjutnya. Di situ terbaring Ibu Yulianti
yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dia merasakan sakit di kepalanya
yang berdarah-darah dan berkata dengan suara memelas “Pak, kepalaku sakit
sekali. Tolong Pak Yo, ndak kuat rasanya. Kepala ini sakit sekali!” Saya tidak
bisa melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan
doa. Telinga Ibu Yulianti telah robek terhantam serpihan benda tajam dan
mengucurkan banyak darah. Saya pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya
erat-erat. Saya katakan, “Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh total.
Tetap kuat dan panggil nama Tuhan Yesus ya Tante.” Dia mengangguk dan saya
doakan dia sambil kita ber dua berpegangan tangan.
Keluar
dari kamar itu, saya melihat korban lain, yaitu Bapak Stefanus yang terbaring
di ranjangnya tepat di tengah ruang UGD. Dia berusaha bangun. Saya tenangkan
dia dan saya suruh tidur kembali. Saya lihat lengannya atas berdarah-darah.
Saya pegang tangannya dan saya doakan dia di tengah-tengah ruangan UGD itu.
Sekalipun
jatuh korban tiga puluh orang terluka, saya masih bisa bersyukur bahwa tidak
ada satupun yang meninggal dunia. Dari tiga puluh orang itu, empat belas harus
dirawat inap dan semuanya harus menjalani operasi. Operasi berlangsung marathon
dari hari Minggu jam 14.00 sampai besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.
B. Bom Meledak
Jika
direnungkan, dalam tragedi 1053 ini ada banyak mujizat dan pertolongan Tuhan.
Jika tidak ada satupun korban jiwa, itu adalah karena campur tangan Tuhan
semata-mata. Bukan kebetulan! Karena di dalam Tuhan Yesus, tidak ada yang
kebetulan. Semua terjadi atas ijinNya.
Sebelum
kejadian, berdasarkan rekaman kamera CCTV, pelaku diperkirakan masuk dari pintu
kecil samping pintu utama. Dengan berbaju putih lengan panjang, celana panjang
hitam, bertopi, berkacamata dan sebuah tas kecil di kalungkan di dadanya,
pelaku sempat berjalan ke tengah dan mendekati tengah ruangan Gereja. Andaikata
dia meledakkan bomnya di tengah ruangan Gereja, pasti ceritanya akan berbeda.
Korban yang jatuh pasti akan lebih banyak.
Tapi
entah mengapa (Pasti ada campur tangan Tuhan), pelaku sempat menoleh ke kanan
ke kiri seperti kebingungan. Kemudian, dia berbalik dan berjalan menuju pintu
keluar. Dia melangkah keluar pintu Gereja dan berdiri di depan pintu agak
menyamping ke timur. Di teras Gereja itulah dia meledakkan bom yang dia bawa
tepat pukul 10:53 (sesuai dengan waktu yang terekam di CCTV), menghamburkan
proyektil-proyektil maut berupa paku, mur, lempengan logam tajam dan lain
sebagainya.
Semata-mata
pertolongan Tuhan kalau pelaku itu meledakkan bomnya dengan menghadap ke
halaman parkir. Andaikata dia meledakkan bomnya dengan menghadap ke arah pintu
Gereja, di mana jemaat sedang ramainya keluar melalui pintu itu, maka korban
yang berjatuhan akan makin banyak dan bisa jadi ada yang kehilangan nyawanya.
Lebih
ajaib lagi, ketika dia menyalakan bomnya, posisinya agak berubah, badannya
memutar sedikit sehingga arahnya tepat menghadap ke dua pilar beton. Akibatnya,
ketika bom yang menempel di perutnya meledak menghamburkan serpihan-serpihan,
maka sebagian tertahan oleh dua tiang beton itu. Kalau bukan tangan Tuhan yang
memutar tubuhnya sedikit, maka pasti akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Serpihan
bom itu ternyata menyebar kemana-mana dan ada sebuah pecahan pipa yang tajam
dan sebesar kepalan tangan, telah terlontar menembus plafon teras Gereja.
Andaikata pecahan itu tidak dilemparkan oleh Tuhan ke atas dan membabat orang,
maka dipastikan orang itu tidak akan mengalami kesakitan. Tapi dia akan
langsung tewas di tempat. Tapi puji syukur kepada Tuhan. Tuhan sudah
melemparkan pecahan yang sangat berbahaya itu ke atas plafon Gereja, sehingga
tidak menimbulkan korban.
C. Mujizat
Satu
hal yang saya kuatirkan dan saya doakan kepada Tuhan, “Jangan sampai ada
satupun korban yang meninggal!” Kalau tidak ada yang kehilangan nyawa (kecuali
pelaku), maka itu membuktikan bahwa tindakan bom bunuh diri itu adalah tindakan
yang sia-sia dan tidak mencapai sasarannya, yaitu untuk mencabut nyawa korban
sebanyak-banyaknya. Selamatnya para korban juga menunjukkan bahwa perlindungan
Allah itu dahsyat dan ajaib! Perlindungan Allah tidak tertembus oleh bom yang
bagaimanapun juga.
Oleh
sebab itu, ketika diadakan doa di depan Gereja oleh saudara-saudara kita dari
GP Ansor pada Minggu malam, sayapun ikut di situ. Pada saat itu, saya menerima
tiga kabar yang membuat sesak nafas. Berita pertama yang muncul di sms adalah
Defiana setelah operasi kepala untuk mengambil tiga mur, ternyata mengalami
kejang-kejang dan kritis. Saat saudara-saudara kita dari GP Ansor berdoa,
sayapun juga berdoa, “Tuhan Yesus jangan sampai anakMu ini meninggal. Sembuhkan
dan pulihkan dia oleh karena bilurMu, bukan karena yang lain. Aku mohon
mujizatMu Tuhan.”
Belum
selesai saya berdoa, masuk sms ke dua dan disusul yang ke tiga yang mengatakan
bahwa kaki dari salah satu korban yang bernama Hariyoko harus diamputasi karena
terbabat obeng yang terlontar seperti roket. Lalu urat kaki Olivia Putri yang
putus harus segera disambung sebelum dua puluh empat jam. Tapi sampai saat itu
belum bisa segera dilakukan operasi karena ruang operasi penuh. Padahal waktu
sudah semakin sempit.
Kembali
saya berdoa agar jangan sampai ada satupun yang mengalami cacat! Apalagi mereka
ini masih remaja dan masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Jangan
sampai mereka kehilangan masa depannya karena mengalami kecacatan.
Berdoa
bersama saudara-saudara kita dari GP Ansor dan mengingat korban-korban ini, tak
terasa air mata ini menetes. Hanya satu doa yang saya panjatkan terus, “Jangan
ada yang meninggal dan jangan ada yang cacat”, supaya nama Tuhan saja yang
dipermuliakan dalam peristiwa ini.
Begitu
selesai doa bersama, kira-kira jam 22.30, saya langsung bergegas ke Rumah Sakit
bersama Pdm. Joko Sembodo untuk menjenguk korban.
Di
depan ruang operasi, saya menjumpai Ibu Hung Me, yang suaminya, Bapak Go Sing
Gwan sedang menjalani operasi karena tulang bahunya hancur. Di depan kamar
operasi itu, kita berdoa bersama-sama memohon anugerahNya.
Lalu
saya menuju kamar Olivia Putri yang harus dioperasi sesegera mungkin karena
urat kakinya putus. Dia tertidur lelap, mungkin karena pengaruh obat bius untuk
mengurangi rasa sakitnya. Saya katakan kepada ibunya, “Jangan kuatir bu.
Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat. Kaki Olivia pasti akan dioperasi
tepat pada waktunya.” Akhirnya jam 01.00, Olivia bisa dioperasi kakinya dan
tidak terlambat.
Di
ruang ICU, ada dua korban, yaitu Ibu Feriana yang terluka parah. Kandung
kemihnya yang pendarahan karena tertembus logam dan ususnya harus dipotong dua
cm. Ketika saya doakan, Ibu Feriana justru berkata “Saya tetap kuat Pak Yo.
Saya tetap cinta Tuhan dan Tuhan Yesus pasti sembuhkan saya.” Dia juga
berpesan, “Pak Yo juga harus kuat. Tuhan akan pakai Pak Yo.” Saya terkejut
dengan ketabahan Ibu Feriana. Saya betul-betul dikuatkan dan terharu. Di saat
menderita dan menjadi korban, Ibu Feriana betul-betul tabah dan justru masih
bisa memberikan kekuatan. Luar biasa!
Memang
Tuhan punya rencana lain untuk Ibu Feriana. Ketika para dokter mengoperasi
untuk menghentikan pendarahannya, dokter juga menemukan usus buntunya sudah
infeksi. Karena itu, usus buntunyapun ikut diambil. Jadi Ibu Feriana ini juga mendapatkan
pelayanan operasi usus buntu, tanpa biaya. Tuhan yang atur semuanya.
Defianapun
juga berada di ruang ICU. Saya melihat sekarang dia telah bisa tidur tenang,
sesudah sore tadi mengalami kejang-kejang. Saya bersyukur kepada Tuhan karena
melihat Tuhan sudah melakukan mujizatNya.
Mamanya
mengatakan bahwa Defiana ini dalam penderitaannya justru sangat tabah. Dalam
keadaan tergeletak dan terluka parah, dia justru yang mengkuatkan orang tuanya
untuk tetap kuat dan bersyukur kepada Tuhan, “Ma jangan takut. Aku pasti sembuh
karena Tuhan Yesus pasti menolong.” Bahkan saat dia didorong masuk ke kamar
operasi, dia menyanyikan pujian “Dalam nama Yesus! Dalam nama Yesus! Ada
kemenangan!” Iman anak remaja ini betul-betul luar biasa. Dia sangat mencintai
Tuhan. Saat sadar, yang dipikirkan pertama kali justru, bagaimana pelayanannya
hari Senin, 3 Oktober nanti dalam acara Konser Pemuda? Luar biasa! Pada hari
Senin, 3 Oktober, Defiana sudah bisa ikut acara konser pemuda di Gereja,
sekalipun dengan kepala yang masih dibalut dengan perban. Mujizat!
Melihat
kondisi Defiana yang cukup parah, sebuah lembaga sosial keagamaan dari Surabaya
menawarkan bantuan dana dan pertolongan untuk membawa Defiana ke Singapore jika
diperlukan. Tapi rencana Tuhan berbeda. Hari Senin, 3 Oktober, Defiana tidak
berada di Singapore untuk diobati. Tapi pada Hari Senin, 3 Oktober, dia berada
di GBIS Kepunton sedang memuji Tuhan. Haleluya!
Hariyoko
yang menurut dokter harus diamputasi kakinya mengalami mujizat yang luar biasa.
Besoknya, dokter berkata bahwa kakinya tidak jadi diamputasi dan bisa sembuh
sempurna. Saya yakin dan percaya, bahwa malam itu, Tuhan Yesus sudah menyambung
semua pembulu darah dan urat-urat yang terputus, sehingga kakinya bisa
diselamatkan. Hariyoko yang masih muda tidak kehilangan kakinya.
Ayahnya,
yaitu Bpk Ristiono adalah bapak yang punggungnya hancur tertebus dua belas paku
tajam. Tapi puji Tuhan, tidak ada satupun paku itu yang menembus organ
vitalnya. Sebelas paku diambil melalui operasi pertama. Tapi satu paku diambil
pada operasi ke dua yang beresiko tinggi. Paku itu bersarang tepat di antara
paru-paru dan hatinya. Jika paku itu tertancap sedikit bergeser saja, maka akan
mengenai paru-paru atau hatinya dan hasilnya pasti fatal. Tapi karena tangan
Tuhan saja, maka paku itu bisa tepat bersarang di antara dua organ vital itu.
Ibu
Yuliati yang berusia tujuh puluh empat tahun telah terluka di kepalanya. Ada
serpihan benda tajam yang melesat cepat merobek daun telinganya. Telinganya
berdarah-darah. Tapi kita bisa bersyukur kepada Tuhan, karena seandainya benda
itu selisih beberapa mili saja jaraknya, maka pecahan benda tajam itu akan
menembus ke kepalanya dan berakibat fatal. Tangan Tuhan betul-betul menyatakan
perlindunganNya.
Para
korban bersaksi bahwa sepertinya ada tameng Ilahi yang melindungi mereka.
Pecahan paku, mur boleh menembus daging, tapi tidak mengenai tulang atau organ
penting. Ada tangan Tuhan yang tak terlihat yang telah menahan semua
proyektil-proyektil maut itu.
D. Iman Di Atas
Batu Karang
Hal
yang paling membahagiakan saya adalah semua korban yang dirawat ini memiliki
iman yang kuat. Mereka menderita, tapi mereka tidak kecewa kepada Tuhan. Mereka
disakiti, tapi mereka tidak dendam dan mau mengampuni. Ketika mereka ditanya,
mereka tetap mencintai Tuhan Yesus dan akan tetap setia ke Gereja.
Seperti
juga Defiana yang saat masih tergolek justru memikirkan pelayanannya, maka
Olivia Putri juga berkata “Aku akan tetap ke Gereja. Kenapa harus takut?”
Bapak
Stefanus dalam keadaan masih terbaring di tempat tidur bahkan sudah menanyakan,
“Pak, Hari Sabtu ada kebaktian 464 (lansia)? Saya mau datang ibadah.”
Ibu
Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun, awalnya mengalami trauma
dan berkata “Tidak berani ke Gereja dulu”. Tapi besoknya dia sudah bisa berkata
“Sesudah sembuh, saya pasti ke Gereja lagi. Saya tidak trauma lagi, karena
Tuhan Yesus.”
Boris
waktu ditanya wartawan tentang Firman Tuhan saat ibadah, dia menjawab dengan
jawaban luar biasa, “Firman Tuhan tadi berbicara tentang pertolongan Tuhan dan
sekarang saya langsung mengalami pertolongan Tuhan”.
Para
korban tidak menolak jiwa diwawancarai oleh wartawan maupun dikunjungi oleh
tamu-tamu penting. Salah satunya saya tanya, “Kenapa kok mau diwawancarai atau
dijenguk oleh tamu-tamu yang begitu banyak? Apa tidak justru melelahkan?” Dia
menjawab “Pak Yo, justru ini kesempatan buat saya untuk menyaksikan kehebatan
Tuhan Yesus. Justru inilah kesempatan buat saya untuk menunjukkan kepada orang
yang belum kenal Tuhan bahwa saya tidak takut untuk mengiring Tuhan Yesus dan
menunjukkan bahwa saya mengampuni mereka.”
Kuatnya
iman mereka, betapa cintanya mereka kepada Tuhan Yesus, tabahnya hati mereka,
semuanya itu membuat saya semakin kuat. Bukan saya yang mengkuatkan mereka.
Tapi merekalah yang justru telah mengkuatkan saya.
Jika
mereka yang menjadi korban saja bisa begitu kuat dan tidak takut untuk kembali
beribadah. Tentunya, kita yang tidak tergores sedikitpun pasti akan tetap kuat
dan setia beribadah kepada Tuhan Yesus di tempat yang sudah Tuhan tempatkan
kita.
Jangan
sampai kesetiaan dan iman kita kalah dengan mereka yang menjadi korban. Biarlah
mereka ini menjadi teladan iman buat kita. Inilah iman yang dibangun di atas
fondasi batu karang.
E. We Love, We
Forgive
Setelah
saya kembali dari Rumah Sakit, polisi sudah berdatangan mengamankan lokasi.
Saya masuk ke dalam Gereja dan duduk di kursi tidak jauh dari pelaku pembomanan
yang tergeletak di lantai. Saya amati dia cukup lama dan saya mulai merenung,
“Haruskah hidupnya berakhir tragis dan sia-sia seperti ini?” Pada waktu itu,
yang muncul di dalam benak saya bukan kebencian dan dendam. Perasaan yang
muncul adalah belas kasihan kepada dia yang telah salah memilih jalan
kehidupan.
Dari
situlah inti pesan gembala itu muncul “Taburkanlah kasih dan pengampunan. Bukan
dendam dan kebencian.” We love and we forgive.
Tidak
ada persungutan yang kita berikan. Tapi ucapan syukur kepada Tuhan yang kita
persembahkan. Habis gelap, terbitlah terang. Setelah musibah, timbulah mujizat.
Karena itu, sekalipun di mata manusia, hal ini merupakan tragedi dan bencana.
Tapi dengan mata iman, saya memandang bahwa tragedi 1053 pasti menjadi MUJIZAT
1053.
Allah
turut bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikkan bagi
orang-orang yang mengasihi Dia. Tidak ada kemuliaan, tanpa melalui salib.
Justru melalui peristiwa ini, dunia telah melihat bahwa Tuhan Yesus dahsyat dan
ajaib.
Pdt.
Jonatan Jap Setiawan
Sumber:
Kesaksian Pdt.Jonatan Jap Setiawan, Bom Bunuh Diri Di GBIS Kepunton Solo-Jawa
TengahContact : - Email